-->

Perlunya Pemberian Otonomi Daerah Dalam Rangka Desentralisasi

Menurut Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 yang dimaksud otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Sedangkan di dalam pasal 1 ayat 7 pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Seperti apa yang telah kami uraikan di atas otonomi daerah dan desentralisasi tidak dapat dipisahkan masalah otonomi daerah tidak mungkin dibahas tanpa melihat konteksnya dengan konsep desentalisasi. Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu, kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S Maryanov di mana menurutnya “desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu mata uang”.[1] Jadi apabila pemerintah melaksanakan desentralisasi maka akan melahirkan otonomi yang dalam kemudian diserahkan kepada daerah otonom di mana daerah ini memiliki otonomi yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dan keduanya dalam hal ini juga merupakan pelaksanaan prinsip negara demokrasi, karena dengan pemberian otonomi daerah dalam rangka desentralisasi dapat memberikan peluang besar atau kesempatan bagi partisipasi politik dalam hal ini rakyat untuk ikut serta pemerintahan di daerah.

 Walaupun pelaksanaan desentralisasi dan pemberian otonomi daerah secara formal diterima sebagai prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, dalam prakteknya kecenderungan pelaksanaan sentralisasi merupakan gejala umum di negara berkembang. Penyebabnya adalah adanya anggapan dan keyakinan dari pembuat keputusan akan berjalan secara efektif apabila dilaksanakan secara terpusat. Namun pada kenyataannya tidak lah demikian, pada akhir tahun 1960 paham sentralisasi sudah tidak diakui lagi oleh sebagian besar negara berkembang karena upaya sentralisasi dalam perencanaan dan administrasi ternyata tidak dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, pertumbuhan ekonomi berjalan lamban, kalaupun pertumbuhan ekonomi itu relatif tinggi hal ini hanya dapat dinikmati oleh sebagian golongan kecil masyarakat sehingga akan terlihat sekali perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, ketimpangan juga terjadi dalam laju pertumbuhan antara satu daerah dengan daerah lainnya. 

Melihat hal – hal tersebut di atas, menurut Rust (1969:273)  pemerintahan yang sangat sentralistik menjadi kurang populer karena ketidakmampuan untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau aspirasi daerah. Warga masyarakat merasa lebih aman dan tentram dengan badan pemerintahan lokal yang lebih dekat kepada mereka, baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, alternatif utama yang dipilih adalah menguji kembali kemungkinan dilaksanakannya desentralisasi dengan memberikan otonomi kepada daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan, pembangunan politik yang efektif. Desentralisasi menjamin penanganan variasi tuntutan masyarakat secara cepat. Seperti dikatakan Rondinelli dan Cheema (1988:13):
central planning was not only complex and difficult to implement, but may also have been inappropriate for promoting equitable growth and self sufficiency among low in corm groups and communicaties within developing societies.
Artinya, di dalam negara yang sedang berkembang perencanaan yang terpusat bukan saja rumit dan sulit untuk dilaksanakan, melainkan juga sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, baik untuk meningkatkan pertumbuhan yang seimbang maupun untuk memenuhi kebutuhan yang mandiri di antara masyarakat yang berpenghasilan rendah. Keith Griffin (1981) dalam Rondinelli dan Cheema (1988:13) menyatakan bahwa:
Development cannot easily be centrally planned. Consequently mobilization of local human and material resources has been accompanied by a reduced emphases on national planning and a growing awareness of the need to devise an administrative structure that would permit regional decentralization, local autonomy in making decision of primary concern to the locality and greater local responsibility for designing and implementing development programs. Such changes, evidently, are not just technical and administrative; they are political. They involve a transfer of power from the groups who dominate the centre to those who have control at the local level.
Artinya, pembangunan tidak dapat begitu saja direncanakan dari pusat. Pendayagunaan sumber daya alam dan manusia yang berada di daerah hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan yang menitikberatkan pada perencanaan secara nasional serta meningkatkan kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut soal teknis dan adminsitratif semata-mata melainkan juga soal politik, yaitu berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari sekelompok pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah.
Dari berbagai sumber kami menemukan bahwa pernyataan Griffin tersebut menunjukkan bahwa persoalan desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan dengan persoalan pemberdayaan (enpowerment). dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk berprakarsa dan mengambil keputusan. Empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab organisasi pemerintahan di daerah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif, dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan daerahnya sendiri. Dengan empowerment, institusi pemerintah daerah dan masyarakat akan mampu memberikan akses bukan hanya terhadap pengambilan keputusan di tingkat daerah, maupun di tingkat pusat.
Ada beberapa pertimbangan tentang perlunya memberikan otonomi kepada daerah dalam rangka desentralisasi menurut sudut pandangan yang berbeda. Pertama, ditinjau dari segi politik sebagai permainan kekuasaan, pemberian otonomi daerah dipandang perlu untuk daerah untuk mencegah bertumpuknya kekuasaan di satu tangan yang akhirnya dapat menimbulkan pemerintahan tirani. Kedua, dari segi demokrasi, pemberian otonomi kepada daerah dipandang perlu, dengan maksud diikutsertakan rakyat dalam kegiatan pemerintahan dan sekaligus mendidik rakyat mempergunakan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemeritahan. Ketiga, dari segi teknis organisatoris pemerintahan, pemberian otonomi kepada daerah dipandang sebagai cara untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih doelmatig untuk diurus oleh pemerintahan setempat diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tempat berada di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintahan pusat. Dengan demikian, soal desentralisasi dan otonomi daerah adalah soal teknis pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil sebaik-baiknya (Liang Gie, 1998:35-39). Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban dari penunaian suatu tugas merupakan hal yang wajar. Dalam beberapa hal, pemberian otonomi kepada daerah dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih cepat dan luwes. Ia dapat memberikan dukungan lebih konstruktif dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian yang semakin besar tentang perlunya pemberian otonomi daerah dalam rangka desentralisasi di bidang administrasi bukan saja merupakan pertanda tentang diakuinya kelemahan yang terdapat pada administrasi yang dipusatkan, melainkan adanya pergeseran kebijakan yang menekankan pada pertumbuhan yang harus dibarengi dengan kebijakan.
Di samping itu, diakui bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks, yang tidak begitu saja dengan mudah direncanakan dan dikendalikan dari pusat. Otonomi daerah yang lepas dari kekuasaan pemerintah pusat adalah tidak mungkin. Namun, merujuk the founding fathers terdapat kesepakatan tentang perlunya desentralisasi dan otonomi daerah. Berbagai pendapat yang mendukung dilaksanakannya desentralisasi dengan memberikan otonomi kepada daerah, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan urgensi pemberian otonomi daerah adalah: Pertama, upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, upaya melancarkan pelaksanaan pembangunan. Ketiga, meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses demokrasi pemerintahan di lapisan bawah.[2]
Seperti apa yang telah kami uraikan di atas, ternyata memang perlunya pemberian otonomi daerah dalam rangka desentralisasi di mana dengan adanya otonomi daerah akan mencegah penumpukan kekuasaan pada pemerintah pusat sehingga tidak memiliki hubungan yang baik dengan pemerintahan daerah dan menurut hemat kami penumpukan kekuasaan yang hanya ada pemerintah pusat tidak akan berjalan efektif, adanya ketimpangan – ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin sampai pada ketimpangan laju pertumbuhan di setiap daerah yang berbeda, adanya ketidak merataan pembangunan dll. Maka dari itu, kami uraikan dalam hal ini beberapa alasan mengapa pemerintah perlu melakukan desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah, yang mana akhirnya akan melahirkan otonomi daerah yang juga diperlukan dalam rangka desentralisasi. Menurut Josep Riwu Kaho perlunya desentralisasi antara lain:
a)    Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan (game teori), desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaann pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
b)   Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hakhak demokrasi.
c)    Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata- mata untuk mencapai sesuatu pemerintah yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.
d)   Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpuhkan pada kekhususan suatu daerah,seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan dan latar belakang sejarah.
e)    Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.


[1] Juanda. 2004. Hukum Pemerintahan daerah. Bandung : PT Alumni. P. 127
[2]Yoyon Bahtiar Irianto. Konsep dan Urgensi Pemberian Otonomi Pemerintahan Kepada Daerah. (http://file.upi.edu/Direktori/A%20%20FIP/JUR.%20ADMINISTRASI%20PENDIDIKAN/196210011991021%20-%20YOYON%20BAHTIAR%20IRIANTO/Konsep%20Desentralisasi.pdf), yang diakses tanggal 16 November 2010.