-->

INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (ICJ)


A.  Sejarah Awal Pembentukan ICJ    
            International Court of Justice (ICJ) atau kita kenal juga dengan istilah Mahkamah Internasional adalah merupakan salah satu lembaga dalam hukum internasional yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara negara dengan negara. Sebelum adanya ICJ ini kita mengenal adanya PCIJ atau Permanent Court of International of Justice sebagai pendahulu Mahkamah Internasional yang dibentuk berdasarkan pasal 14 Kovenan Liga Bangsa – Bangsa (LBB) pada tahun 1922 yang berkedudukan di Peace Palace (Istana Perdamaian), Den Haag. PCIJ memberikan peranan yang penting dalam sejarah penyelesaian sengketa internasional namun karena pecahnya perang dunia II pada bulan September 1939 yang secara politis telah menghentikan kegiatan – kegiatan Mahkamah dan terjadinya peperangan yang terus berkelanjutan ini bahkan telah membuat PCIJ menjadi bubar. Sampai akhirnya diadakan Konferensi San Fransisco tahun 1945 yang memutuskan untuk membentuk suatu badan peradilan baru. Maka sejak bulan April 1946, PCIJ secara resmi berakhir.                         
           Dalam pasal 92 piagam PBB dinyatakan dengan tegas bahwa Statuta ICJ merupakan pengalihan dari Statuta PCIJ, dan status ICJ adalah sebagai badan peradilan utama PBB, sehingga Statuta ICJ ini adalah merupakan bagian integral dari piagam PBB, di mana Statuta ICJ bertujuan agar semakin banyak negara menjadi peserta atau anggotanya. Untuk itu Statuta berupaya agar tidak ada suatu atau sekelompok negara memiliki kedudukan yang lebih penting daripada negara lainnya. Statuta terbagi dalam 4 bab, yaitu Organization of the Court (Komposisi Mahkmah, pasal 2 – 33), Competence of the Court (Yurisdiksi Mahkamah, pasal 34 – 38), Procedure (Hukum Acara, Pasal 39 – 64), Advisory opinion (Pendapat Hukum Mahkamah, pasal 65 – 68), dan Amendements (Perubahan, pasal 69 – 70).                                                                                 
              ICJ merupakan salah satu dari 6 (enam) organ utama PBB. Namun, badan ini memilki kedudukan khusus dibandingkan 5 (lima) organ utama lainnya. ICJ atau Mahkamah tidak memiliki hubungan hierarkis dengan badan – badan utama PBB lainnya. Ia benar – benar lembaga hukum dalam sebagai suatu pengadilan. Ia bukan pula pengadilan konstitusi (Constitutional Court) yang memiliki kewenangan untuk meninjau (me-review) putusan – putusan politis yang dibuat oleh Dewan Keamanan. Ia menggunakan nama resmi ICJ dan tidak menggunakan simbol atau nama PBB dalam putusannya.
B.  Komposisi Mahkamah Internasional
1.    Hakim Mahkamah Internasional
            Mahkamah Internasional terdiri dari 15 (lima belas) orang hakim. Mereka dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam suatu pertemuan secara bersamaan tetapi terpisah di Dewan Keamanan dan Majelis Umum (Pasal 4 Statuta). Statuta Mahkamah menyatakan bahwa walaupun hakim – hakim dipilih tanpa memandang kebangsaannya, namun pemilihan pemilihan mereka mempertimbangkan pula pembagian perwakilan geografis dan sistem – sistem hukum di dunia. Pembagian ini sangat dominan dan signifikan.
            Dari praktik kebiasaan tak tertulis, yang berlaku saat ini termuat pembagian berikut: 5 (lima) orang dari negara – negara Barat, 3 (tiga) orang dari Afrika (satu orang dari negara yang berbahasa Prancis yang menganut Civil Law; satu orang dari negara yang berbahasa Inggris yang menganut Common Law; dan satu orang dari Arab), 3 (tiga) orang dari Asia, 2 (dua) orang dari Eropa Timur; dan 2 (dua) orang dari Amerika Latin. Dari praktik tak tertulis ini, biasanya 5 (lima) orang dari 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan menduduki  jabatan hakim dalam Mahkamah Internasional.
            Hakim Mahkamah Internasional dipilih untuk jangka waktu 9 tahun. Sesudah itu ia berhak dipilih kembali. Ketua (Presiden) dan wakilnya dipilih oleh para hakim. Untuk menjaga kelangsungan suatu sengketa dalam hal seorang atau beberapa orang hakim telah memasuki masa tugasnya selama 9 tahun maka Statuta mensyaratkan adanya pemilihan 5 orang hakim untuk bertugas selama 5 tahun secara interval (pasal 13 ayat (1) Statuta Mahkamah).
2.    Hakim Ad Hoc
Apabila suatu negara pada suatu sengketa tidak memiliki hakim yang berkebangsaan negaranya, ia dapat meminta agar seorang hakim ad hoc dipilih (Pasal 31 ayat 3. Dalam sengketa Pulau Sipadan – Ligitan (2002), Republik Indonesia dan Malaysia memanfaatkan hak ini. Republik Indonesia memilih Hakim ad hoc Mr. Mohammed Shahabuddeen sedangkan Malaysia memilih Hakim ad hoc Mr. Christoper Gregory Weeramantry. Pemilihan hakim ad hoc ini tampaknya merupakan kelanjutan kebiasaan dari pemilihan hakim – hakim di arbritase. Namun demikian, pemilihan hakim ad hoc yang memiliki kebangsaan sama dengan salah satu pihak mendapat kritik dari cukup banyak penulis. Bukankah hakim tersebut harus netral dan tidak boleh mewakili negaranya.
3.    Chamber
Seseorang dapat meminta agar sengketanya tidak diperiksa oleh seluruh anggota hakim (Mahkamah), sehingga bisa meminta sengketanya diperiksa oleh suatu Chamber yang terdiri dari beberapa orang hakim tertentu yang dipilih oleh Mahkamah secara rahasia. Putusan Chamber tetap dianggap sebagai putusan yang berasal dari Mahkamah.
Chamber yang tersedia dalam Mahkamah, yaitu:
a.    The Chamber of Summary Procedure, yaitu suatu Chamber yang terdiri dari 5 (lima) orang hakim termasuk di dalamnya presiden dan wakil presiden;
b.    Chamber (lainnya) yang sedikitnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim yang menangani suatu kategori atau kelompok sengketa tertentu, misalnya sengketa di bidang perburuhan atau komunikasi;
c.    Chamber (lainnya) yang dibentuk Mahkamah untuk menangani suatu kasus tertentu setelah berkonsultasi dengan pihak mengenai jumlah dan nama – nama hakim yang akan menangani sengketa.
            Ketentuan mengenai Chamber ini diatur dalam Rules concerning Chamber of Court. Pembentukan Chamber pertama kali adalah pada tahun 1982 dalam sengketa Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine (Gulf Maine Case) antara Kanada dan Amerika Serikat.
4.    The Registry
            The Registry adalah organ administratif Mahkamah. Ia bertanggung jawab hanya kepada Mahkamah. Tugas utama organ ini adalah memberi bantuan jasa di bidang administratif dengan negara negara yang bersengketa dan juga berfungsi sebagai suatu sekretariat. Kegiatan-kegiatannya bersifat sebagai suatu badan yang mengurusi hal hal administratif, keuangan, penyelenggaraan konferensi dan jasa penerangan dari suatu organisasi internasional. Pejabat-pejabat disumpah dan memiliki imunitas dan kekebalan sebagai halnya misi diplomatik.                  The Registry terdiri dari:
a)    Registrar, yaitu seseorang yang memiliki kedudukan yang sama seperti halnya asisten (pembantu) Sekretaris Jenderal PBB dan Deputy registrar. Kedua orang ini dipilih oleh Mahkamah melalui pemungutan suara secara rahasia. Ia bertugas sebagai saluran komunikasi antara ICJ dengan negara atau organisasi internasional, memelihara urusan urusan administratif Mahkamah, dan ikut pula menandatangani silang putusan Mahkamah.
b)    40 orang bertugas tetap yang bertugas di bidang kesekretariatan, tenaga administratif, petugas arsip, pengetikan, pustakawan, petugas keamanan, dll.
c)    Beberapa petugas sementara yang dipekerjakan untuk sementara waktu untuk tugas penerjemahan, penulis cepat, dll.
C.   Yurisdiksi Mahkamah
Jurisdiksi Mahkamah Internasional mencakup dua hal:
1.    Jurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkannya (contentious jurisdiction); dan
2.    Non contentious jurisdiction atau jurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction).
Ad. 1. Contentious Jurisdiction
            Jurisdiksi Mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa antara 2 atau lebih negara (jurisdiksi ratione personae). Dalam sengketa the Border and Transborder Armed Actions Case (Nicaragua v Honduras) (Jurisdiction and Admissibility) (1988), Mahkamah ICJ dengan tegas menyatakan bahwa sengketa yang diserahkan kepadanya adalah sengketa hukum. Di samping itu, Mahkamah ICJ sendiri harus meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki jurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa hanya negara sajalah yang bisa menyerahkan sengketanya ke Mahkamah. Dengan kata lain, subyek subyek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, orang perorangan, pihak yang bersengketa, dll., tidak bisa meminta Mahkamah untuk menyelesaikan sengketanya.
            Kalau individu atau perusahaan merasa dirugikan oleh adanya tindakan negara lain, maka untuk dapat sengketa tersebut diserahkan dan ditangani oleh Mahkamah, negara individu atau di negara di mana perusahaan didaftarkan dapat mengambil alih sengketa tersebut dan mengajukannya kepada Mahkamah. Menurut Pasal 4 ayat (3) Statuta, Dewan Keamanan dapat menganjurkan agar para pihak menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah. Namun anjuran anjuran demikian tidak dapat memaksa negaranegaraagar sengketa mereka diselesaikan oleh Mahkamah.
Kesepakatan negara merupakan dasar dari yurisdiksi Mahkamah. Kata sepakat ini esensial. PBB tidak menggunakan istilah kata sepakat, tetapi 'pengakuan dari suatu negara terhadap jurisdiksi Mahkamah atas suatu sengketa. Pengakuan dapat dilakukan dilakukan suatu negara melalui penandatanganan perjanjian (acta compromis), tindakan sepihak, atau cara-cara lainnya.
a.   Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Statuta
            Berdasarkan pasal 36 ayat (1) Statuta, Jurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian perjanjian atau konvensi konvensi internasional yang berlaku. Di samping perjanjian atau konvensi internasional, para pihak dapat pula sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah, kesepakatan tersebut harus tertuang dalam suatu akta atau perjanjian (acta compromis). Perjanjian tersebut harus menyatakan dengan tegas kesepakatan kedua belah pihak dan harus menyatakan penyerahan sengketa kepada Mahkamah Internasional.
b.   Doktrin Forum Prorogatum
            Menurut doktrim forum prorogatum, Jurisdiksi seperti ini (propogated jurisdiction) timbul manakala hanya satu negara saja yang menyatakan dengan tegas persetujuannya atas jurisdiksi Mahkamah. Kesepakatan pihak lainnya diberikan secara diam diam,tidak tegas, atau tersirat saja. Dalam sengketa the Corfu Channel case (1948), Mahkamah menyimpulkan bahwa surat dari Wakil Menteri Luar Negeri Albania merupakan pernyataan kesepakatan pemerintah Albania untuk menyelesaikan sengketanya oleh Mahkamah. Dalam kasus the Rights of Minorities in Polish Upper Silesia (1928), Mahkamah Permanen Internasional menyatakan bahwa jurisdiksi dapat tersirat dari tindakan-tindakan suatu negara. Misalnya, negara tersebut menyerahkan argumen-argumennya atas pokok sengketa, tanpa membuat pernyataan mengenai keberatannya atas jurisdiksi Mahkamah.
c.   Optional Clause Pasal 36 ayat (2) Statuta
            Ketiga, berdasarkan pasal 36 ayat (2), yaitu klausul pilihan (the optional clause). Ketentuan pasal 36 ayat (2) ini menyatakan bahwa negara negara peserta pada Statuta dapat setiap waktu menyatakan penerimaan wajib ipso facto jurisdiksi Mahkamah dan tanpa adanya perjanjian khusus terhadap negara yang menerima kewajiban serupa atas semua sengketa hukum mengenai:
a)    penafsiran suatu perjanjian;
b)    setiap masalah hukum internasional;
c)    eksistensi suatu fakta yang mana, jika terjadi, akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional;
d)    sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran suatu kewajiban internasional
            Meskipun pasal 36 ayat (2) tidak secara khusus memberikan hak-hak demikian itu, negara negara acapkali membuat pernyataanpernyataan yang tunduk pada persyaratanpersyaratan. Persyaratan yang dibuat biasanya berkaitan dengan hal-hal berikut:
a)    sengketa-sengketa yang forum penyelesaian sengketanya telah ditetapkan;
b)    sengketa-sengketa yang timbul sebelum suatu tanggal yang pasti, yang mana biasanya adalah tanggal dibuatnya pernyataan;
c)    sengketa-sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya perselisihan (hostilities);
d)    sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah-masalah yang menjadi jurisdiksi pengadilan setempat dari negara yang membuat pernyataan, sebagaimana ditetapkan oleh hukum internasional atau bahkan oleh negara yang bersangkutan;
e)    persyaratan mengenai sengketa dengan negara tertentu, misalnya antara negara negara anggota persemakmuran atau sengketa dengan negara-negara yang negaranya tidak memiliki hubungan diplomatik;
f)     persyaratan untuk tujuan-tujuan tertentu yang pihak lainnya telah pula menerima Optional Clause ini (resiprositas);
g)    pensyaratan mengenai perjanjian multilateral tertentu;
h)   persyaratan mengenai masalah – masalah hukum laut. Seperti disebut dimuka, negara-negara sebelum menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah, harus terlebih dahulu membuat pernyataan atau deklarasi mengenai maslahmasalah yang akan diserahkan dan diselesaikan oleh Mahkamah.
            Karena persyaratan-persyaratan demikian dibuat atas dasar resiprositas (timbal balik), maka Mahkamah hanya memiliki jurisdiksi hanya pada ruang lingkup atas masalah masalah yang berada atau yang dinyatakan dalam pernyataan itu saja. Karena itu, jurisdiksi Mahkamah berdasarkan pasal 36 ayat (2) bisa dikelompokan ke dalam dua bagian:
(1) salah satu pihak dapat menggantungkan pada suatu yang dibuatnya untuk membatasi jurisdiksi Mahkamah, dan
(2) salah satu pihak dapat menyandarkan pada persyaratanpersyaratan  yang dibuat oleh salah satu pihak yang mencoba untuk membuat jurisdiksi atas dasar resiprositas, sebagai suatu pembatasan atas jurisdiksi Mahkamah.
            Kemudian ada dua alasan utama di mana Mahkamah berkeberatan atau menolak untuk menyelesaikan sengketa yang diserahkan kepadanya.
(1) Instrumen kesepakatan perjanjian (acta compromis) para pihak yang berisi penyerahan sengketa ke Mahkamah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum atau berlaku. Alasan ini tampak dalam sengketa the Temple of Preah Vihear (Cambodia v Thailand) (ICJ Rep. 1961, p. 17); the Aerial Accident of 10 March 1953 (United States v Czechoslovakia) (ICJ Rep. 1956, p. 6). Alasan lain, suatu sengketa dikesampingkan oleh satu pihak dengan dibuatnya persyaratan terhadap instrumen perjanjian (misalnya dalam sengketa the Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua (Nicaragua v United States) (ICJ Rep. 1984, p. 392);
(2) Sengketa tidak dapat diterima karena tidak adanya dasar hukum (jus standi), misalnya dalam sengketa the South West Africa (Ethiopia v South Africa, Liberia v South Africa) (ICJ Rep. 1962, p. 319), atau karena tidak ditaatinya prinsip exhaustion of local remedies, misalnya dalam sengketa the Interhandel (Switzerland v United States) (ICJ Rep. 2957, p. 105)45; atau karena sebenarnya tidak adanya sengketa di antara para pihak, misalnya dalam sengketa the Rights of Passage over Indian Territory (Portugal v India) (ICJ Rep. 1957, p. 125).
Ad. 2 Non-Contentious (Advisory) Jurisdiction
            Dasar hukum jurisdiksi Mahkamah untuk memberikan nasihat atau pertimbangan (advisory) hukum kepada organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya, yaitu hanya yang terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktivitas dari 5 badan atau organ utama dan 16 badan khusus PBB.
            Dasar hukum lainnya yang juga memberi wewenang yang lebih luas kepada Mahkamah untuk memberikan nasihatnya disamping organ – organ utama atau khusus PBB, terdapat pula dalam pasal 65 Piagam. Pasal ini menyatakan, Mahkamah dapat memberikan pendapatnya atau nasihatnya mengenai setiap masalah hukum yang diserahkan kepadanya atas permohonan badan badan manapun juga yang diberi wewenang atau yang sesuai dengan Piagam PBB untuk membuat permohonan demikian.      Dasar hukum jurisdiksi Mahkamah di dalam memberikan nasihat hukumnya ini biasanya termuat pula dalam konstitusi, konvensi, statuta, atau instrumen-instrumen perjanjian lainnya. Misalnya, perjanjian markas besar atau konvensi mengenai hak hak istimewa dan kekebalan suatu organisasi internasional (publik). Contoh konstitusi atau konvensi yang memuat hak untuk meminta nasihat hukum pada Mahkamah antara lain adalah Konstitusi ILO (9 Oktober 1946), Konstitusi FAO (16 Oktober 1945),Konstitusi UNESCO (16 November 1945), Konstitusi WHO (22 Juli 1946), Konvensi IMCO (yang berubah menjadi IMO) (6 Maret 1948), Statuta IAEA (24 Oktober 1956), dll.
            Kekuatan hukum nasihat yang diberikan oleh Mahkamah ini tidaklah mengikat. Organisasi internasional (publik) yang meminta nasihat hukum tersebut bebas untuk melaksanakan atau menolak nasihat hukum tersebut. Namun dalam praktek, badan-badan atau organ organ yang memohon nasihatnya dari Mahkamah telah menghormatinya dengan seksama. Bahkan beberapa nasihat hukum Mahkamah telah memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan hukum internasional. Contoh yang cukup terkenal dalam hal ini adalah pendapat hukum Makamah dalam sengketa the Reparation Case (1949). Dalam sengketa ini nasihat hukum Mahkamah memberikan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan hukum internasional, yakni memberikan penjelasan hukum mengenai personalitas dan kemampuan hukum organisasi internasional dalam hukum internasional.
3.    Pihak Nonanggota PBB dan Intervensi Pihak Ketiga
a.    Pihak Nonanggota PBB
            Pasal 93 ayat 1 Piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB ipso facto adalah anggota atau peserta pada Statuta Mahkamah Internasional. Pasal 93 ayat 2 Piagam menyatakan bahwa negaranegara non anggota PBB dapat pula menjadi pihak pada Statuta Mahkamah dengan syarat syarat yang ditetapkan oleh Majelis Umum atas rekomendasi dari Dewan Keamanan.
b.    Intervensi Pihak Ke-3
            Suatu negara dapat pula memohon untuk dapat ikut serta atau intervensi di dalam suatu persidangan suatu sengketa manakala negara ketiga tersebut memiliki kepentingan hukum. Kepentingan hukum dalam arti putusan Makamah yang akan dikeluarkan dapat berpengaruh kepada kepentingannya. Ketentuan ketentuan atau aturan mengenai keikutsertaan atau intervensi ini termuat pula dalam aturan Mahkamah yakni dalam pasal 62 Statuta, dan Rules of the International Court of Justice pasal 81 86. Salah satu sengketa di mana pihak ke-3 memanfaatkan pasal 62 ini adalah keinginan intervensi Filipina dalam sengketa pulau Sipadan - Ligitan antara Indonesia v Malaysia (2002). Dalam sengketa ini Filipina memohon intervensi atas dasar bahwa intervensi tersebut perlu dilakukannya untuk melindungi hak hak hukum dan historial (legal and historical rights) yang timbul dari klaim Filipina atas wilayah Borneo Utara (Sabah). Filipina khawatir, putusan Mahkamah ICJ dalam senkgeta pulau Sipadan - Ligitan akan berpengaruh negatif terhadap tuntutannya atas Sabah. Dalam putusannya tanggal 23 Oktober 2001, Mahkamah dengan suara 14:1, menolak permohonan Filipina. Alasannya, Filipina gagal membuktikan adanya kepentingan hukum (interest of legal nature) yang mungkin dapat terpengaruh oleh putusan Mahkamah. Suara menolak (Dissenting Opinion) diberikan oleh Hakim Oda. Di samping itu terdapat 2 Declarations (Hakim Kooijmans dan Parra-Arrangures) dan 3 Separate Opinions (Hakim Ad Hoc Franck, Hakim Koroma dan Hakim Ad Hoc Weeramantry). Banyaknya suara - suara ini menunjukkan bahwa masalah intervensi pihak ke-3 dalam persidangan Mahkamah masih sedikit banyak terdapat silang pendapat di antara para ahli (in casu: hakim-hakim Mahkamah).
            Dari kasus intervensi Filipina dalam sengketa pulau Sipadan-Ligitan ini dan Statuta dan aturan ICJ, tampak adanya persyaratan mendasar yang menjadi alasan untuk dapat ikut serta dalam suatu sengketa:
(1) suatu negara harus dapat membuktikan secara meyakinkan kepada Mahkamah bahwa ia memiliki kepentingan hukum;
(2) putusan Mahkamah atas pokok sengketa dapat mempengaruhi kepentingan hukum tersebut;
(3) pengajuan permohonan harus dimintakan dalam waktu yang 'secepatnya.'


D.  HUKUM YANG DITERAPKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
1.    Putusan Berdasarkan Hukum Internasional
Mahkamah akan menerapkan putusan – putusan pengadilan dan tulisantulisan para sarjana terkemuka untuk:
1)    menafsirkan sumber-sumber hukum internasional primer, yaitu perjanjian internasional dan prinsip – prinsip hukum umum;
2)    memperjelas ketidakjelasan dari maksud sumber sumber hukum primer tersebut.
Putusan pengadilan di sini tidak saja mencakup putusanputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (PCIJ), tetapi juga putusan putusan pengadilan internasional lainnya, termasuk badan arbitrase internasional. Putusan pengadilan sebelumnya ini (preseden) digunakan juga untuk memperjelas ketidakjelasan hukum (internasional) yang akan diterapkan Mahkamah. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 59 Statuta Mahkamah, putusan Mahkamah hanya mengingat negara negara yang bersengketa dan hanya berlaku untuk sengketa-sengketa yang bersangkutan saja.
2.    Putusan Berdasarkan Ex Aequo et Bono
            Berdasarkan pasal 38 ayat 2 Statuta, Mahkamah berwenang untuk memutus suatu sengketa berdasarkan ex aequo et bono apabila para pihak sepakat. Sumber hukum ex aequo et bono (kepatutan dan kelayakan atau keadilan dalam hukum internasional) belum pernah diterapkan Mahkamah sampai saat ini. Menurut Schlochhauer, karena sifatnya, kemungkinan memutus sengketa dengan menerapkan sumber hukum ini lebih cocok digunakan dalam arbitrase internasional. Sumber hukum ini tidak cocok untuk diterapkan oleh badan badan peradilan internasional.


E.  PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
1.    Berakhirnya Sengketa
Suatu sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat berakhir karena hal – hal sebagai berikut:
a.    Adanya kesepakatan dari para pihak.
Kesepakatan ini dapat dilakukan pada setiap tahap persidangan dan para pihak memberitahukan kesepakatan ini kepada Mahkamah bahwa mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya kesepakatan ini, Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (Order) yang berisi penghapusan sengketa dari daftar Mahkamah.
b.    Tidak dilanjutkannya persidangan (discontinuance)
Suatu negara penuntut/pemohon setiap waktu dapat memberitahukan Mahkamah bahwa mereka telah sepakat untuk tidak melanjutkan persidangan atau kedua belah pihak menyatakan bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya. Dalam menghadapi hal ini, Mahkamah akan membuat surat putusan (Order) yang berisi penghapusan sengketa dari daftar Mahkamah.
c.    Dikeluarkannya Putusan (Judgment)
Cara inilah yang paling lazim mengakhiri sengketa. Ada beberapa isu yang cukup penting untuk diuraikan disini.
1)    Putusan diterbitkan untuk masyarakat luas
Putusan-putusan Mahkamah Internasional disebarluaskan kepada masyarakat luas. Hal ini berbeda dengan sifat putusan badan arbitrase yang sifatnya rahasia. Putusan tersebut dimuat dalam suatu dokumen yang berjudul Reports of Judgments (untuk sengketasengketa antar negara) dan Advisory Opinions and Orders (untuk putusanputusan yang bersifat nasihat – nasihat hukum). Putusan yang dipublikasikan secara luas memiliki segi positif. Publikasi telah memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum internasional.


2)    Pendapat para hakim
Pendapat-pendapat para hakim dalam suatu sengketa termuat pula secara lengkap dalam laporan - laporan putusan (Report of the Judgment). Suatu laporan memuat dua bentuk pendapat yaitu :
a)    Dissenting Opinion
Suatu pendapat hakim yang tidak setuju dengan satu atau beberapa hal dari putusan Mahkamah, khususnya dasar hukum dan argumentasi dari putusan dan akibatnya telah memberikan putusan atau pendapat yang menentangnya.
b)    Separate Opinion
Yaitu suatu pendapat yang menyatakan dukungan seorang hakim terhadap putusan Mahkamah khususnya mengenai ketentuan hukum yang digunakan dan beberapa aspek yang menurutnya penting, namun ia tidak sepaham dengan semua atau beberapa argumentasi Mahkamah meskipun berakhir putusan yang sama dengan Mahkamah.
3)    Putusan mengikat para pihak
Sifat putusan Mahkamah adalah mengikat, final dan tidak ada banding (Pasal 60: “the judgment is final and without appeal....”). Prinsip ini berlaku terhadap semua putusan Mahkamah, baik  yang dikeluarkan oleh Mahkamah dengan anggota penuh (lengkap) (full bench of the Court) atau oleh suatu Chamber. Sifat mengikat putusan Mahkamah ini merupakan konsekuensi dari ratifikasi, aksesi atau penerimaan atas Statuta Mahkamah oleh negara. Ketentuan hal ini tersurat dalam pasal 94 Piagam PBB.
4)    Penafsiran dan Perubahan Putusan
Wewenang untuk menafsirkan dan merubah putusan berada pada Mahkamah. Ketentuan yang terkait dengan hal ini adalah sebagai berikut:
a)    Atas permohonan salah satu pihak, Mahkamah dapat menafsirkan putusannya manakala terhadap perbedaan pendapat di antara para pihak mengenai pengertian putusan Mahkamah. Namun tidak semua permintaan tersebut dikabulkan, misalnya sengketa the Treaty of Neuilly dan sengketa Asylum).
b)    Salah satu pihak dapat meminta perubahan suatu putusan apabila terdapat suatu fakta atau hal baru yang ketahuan kemudian dan merupakan faktor penting yang menentukan dan dapat merubah isi putusan. Hal – hal yang baru ini tidak diketahui atau didasari oleh Mahkamah sebelumnya.
Dari sengketa – sengketa yang negara – negara anggotanya serahkan ke Mahakamah, tercatat terdapat sekitar 60 sengketa sejak 1946 hingga dewasa ini).Sengketa – sengketa tersebut dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok:
1)    sengketasengketa mengenai perbatasan wilayah (darat dan laut) serta hak lintas;
2)    status kepemilikan atau kedaulatan wilayah (sengketa pulau Sipadan-Ligitan RI/Malaysia termasuk ke dalam kelompok ini);
3)    keabsahan penggunaan kekerasan;
4)    perlindungan diplomatik dan warga negara di luar negeri; dan
5)    pengambilalihan harta benda milik negara asing.
            Sebagai kesimpulan saya akan menguraikan urutan proses beracara di ICJ atau Mahkamah Internasional (MI), yaitu:
1.    Urutan Beracara di MI Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus kasus yang sifatnya contentious.  Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application). Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia. Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik, disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia. Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan. Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangankekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.
2.    Tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings)
Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan. Pembelaan Tertulis (Written Pleadings). Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply). Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai. Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa.
3.    Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI. Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965. Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
4.    Keberatan Awal (Preliminary Objections)
Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978.
5.    Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan . Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI.
6.    Keputusan (Judgment)
Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Sumber Peraturan Tertulis
Piagam Perserikatan Bangsa – Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional
Sumber Internet