Nama : Resti Restatika (110113080112) Dosen : H. Agus Takariawan, SH.,MH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Negara mempunyai hak
untuk menjatuhkan pidana melalui aparat penegak hukum apabila telah terjadi
pelanggaran terhadap hukum yang berlaku, misalnya melakukan perbuatan yang
dilarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP tersebut
tercakup 3 (tiga) Buku, yakni Buku I yakni mengenai Ketentuan Umum, Buku II
mengenai Kejahatan dan Buku III mengenai Pelanggaran, di dalam KUHP tersebut tidak
hanya bersifat melarang melakukan perbuatan tertentu seperti mencuri, membunuh,
menganiaya yang pada umumnya diatur di dalam Buku II tentang Kejahatan namun
juga memerintahkan untuk melakukan perbuatan tertentu, misalnya memberikan
pertolongan terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan yang apabila tidak
dilakukan maka justru melanggar ketentuan KUHP misalnya dalam Buku III tentang
pelanggaran pasal 531, 525 dan lain-lain.
Selain mengatur mengenai
kejahatan dan Pelanggaran, KUHP juga mengatur mengenai ketentuan umum di dalam
Buku I yang di dalamnya terdapat salah satu pasal yang penting untuk
diperhatikan yakni pasal 10 yang menjelaskan mengenai jenis pidana yakni
terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan yang urutannya disesuaikan dengan
berat ringannya jenis pidana tersebut, dan tentunya masih banyak lagi
pasal-pasal lain yang tercakup dalam KUHP yang tidak kalah pentingnya.
Namun seiring dengan
perkembangan sistem pemidanaan beberapa kententuan dalam KUHP yang ada sekarang
ini dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum meskipun telah
diadakan “tambal sulam” sehingga terdapat keinginan yang kuat untuk melakukan pembaruan hukum pidana dengan membentuk
KUHP baru dalam suatu sistem hukum pidana nasional (KUHP Nasional).[1]
Pembaharuan
hukum pidana dimulai sejak adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Naional I,
pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan
kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan serta belum
tercapainya tujuan pemidanaan dalam KUHP yang sekarang berlaku. Indnesia telah
membuat rancangan KUHP sebanyak 14 kali (termasuk revisinya) selama 44 tahun
(sejak tahun 1964 s.d. 2008) dengan hasil revisi terakhir pada februari 2008.
Perkembangannya saat ini adalah sudah ada draft RKUHP tahun 2010.[2]
Maka
dari itu, dengan adanya RKUHP tersebut kiranya penting apabila saya
memperbandingkannya dengan KUHP yang masih berlaku saat ini, khususnya dalam
hal ini mengenai jenis pidana/pemidanaan baik yang terdapat di dalam KUHP
maupun RKUHP yang kemudian akan saya kaitkan dengan tujuan pemidanaan dengan
teori yang mendukung. Karena
itu saya menulis makalah ini dengan judul “Analisis Terhadap Jenis Pidana yang
Terdapat dalam KUHP dan RKUHP dihubungkan dengan Teori Tujuan Pemidanaan”.
1.2
Identifikasi
Masalah
Dari uraian yang telah
disebutkan pada latar belakang penulisan makalah ini, maka permasalahan
yang akan dianalisis oleh penulis adalah:
1.
Apakah
terdapat perbedaan antara jenis pidana yang diatur dalam KUHP dengan RKUHP?
2.
Bagaimana
hubungan
antara jenis pidana dalam KUHP dan RKUHP dengan teori tujuan pemidanaan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan identifikasi masalah maka tujuan pembuatan makalah ini
adalah:
1. Untuk
mendeskripsikan perbedaan jenis pidana yang ada di dalam KUHP dan RKUH.
2. Untuk
mendeskripsikan hubungan antara jenis pidana dalam KUHP dan RKUHP dengan teori tujuan
pemidanaan.
1.4 Metode Penulisan
Dengan memperhatikan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta
teori tujuan pemidanaan. Maka,
penulis mencermatinya dengan memperhatikan metode penulisan ilmiah yang baik
dengan menggunakan metode pendekatan deskriptif analistis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perbedaan Jenis Pidana dalam KUHP
dengan RKUHP
Menurut Roeslan
Saleh yang dimaksud pidana adalah “reaksi atas delik, dan ini berujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu”. Memang
nestapa ini bukanlah tujuan terakhir dicita-citakan masyarakat. Nestapa
hanyalah suatu tujuan yang terdekat.[3]
Menurut Prof. Simons “pidana atau straf itu adalah suatu
penderitaan yang oleh undang-undang pidana dikaitkan dengan pelanggaran
terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi
seseorang yang bersalah.”[4]
Kemudian mengenai pemidanaan menurut Dr. Andi Hamzah
S.H., dinyatakan bahwa : “pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana
atau pemberian pidana atau penghukuman. Dalam Bahasa Belanda disebut
straftoemeting dan dalam Bahasa Inggris disebut sentencing”. Sedangkan menurut
Oemar Senoadjie dan Karim Nasution, dinyatakan : “pemidanaan adalah merupakan
konkritisasi atau realisasi dari peraturan pidana dalam undang-undang yang
masih merupakan sesuatu yang abstrak.”[5]
Terkait dengan istilah-istilah tersebut akan kita temukan
bentuknya dalam KUHP dan RKUHP. Dalam pasal 10 KUHP yaitu mengenai jenis-jenis
pidana/pemidanaan atau penghukuman, di mana diantara jenis-jenis pemidanaan
dalam pasal 10 KUHP ini dimungkinkan dapat menimbulkan suatu penderitaan bagi
para pelaku yang menjalaninya. Jenis pidana dalam pasal 10 KUHP terdiri atas:
a.
Pidana pokok:
1. Pidana
mati;
2. Pidana
penjara;
3. Kurungan;
4. Denda.
b.
Pidana Tambahan
1. Pencabutan
hak-hak tertentu
2. Perampasan
barang-barang tertentu
3. Pengumuman
putusan hakim.
Urutan dari jenis-jenis pidana diatas disesuaikan
dengan berat ringannya pidana, karena hukuman mati tentu dianggap yang paling
berat maka ia ditempatkan diurutan pertama, dan di dalam KUHP ada beberapa
perbuatan pidana yang diancam hukuman mati, diantaranya :[6]
a. Makar
membunuh Kepala Negara, pasal 104;
b. Mengajak
negara Asing guna menyerang Indonesia, pasal 111 ayat 2;
c. Memberi
pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang, pasal 124 ayat 3;
d. Membunuh
Kepala Negara sahabat, pasal 140 ayat 4;
e. Pembunuhan
dengan direncanakan terlebih dahulu, pasal 140 ayat 3 dan 340;
f. Pencurian
dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau
dengan jalan membongkar dan sebagainya, dan menjadikan ada berluka berat atau
mati, pasal 365 ayat 4;
g. Pembajakan
dilaut, dipesisir, dipantai dan dikali, sehingga ada orang mati, pasal 444;
h. Dalam
waktu perang menganjurkan huru hara, pemberontakan dan sebagainya antara
pekerja-pekerja dalam perusahaan pertanahan negara, pasal 124 bis;
i.
Dalam waktu perang menipu pada waktu
menyampaikan keperluan angkatan perang, pasal 127 dan 129;
j.
Pemerasan dengan pemberatan, pasal 368
ayat 2.
Di
banyak negara hukuman mati sudah tidak dikenal lagi. Belanda sejak tahun 1980
hanya mengenal hukuman seumur hidup sebagai hukuman terberat. Politik hukum
pidana Belanda tahun 1879 tidak diikuti oleh daerah koloninya, oleh orang
Belanda hukuman mati itu dipertahankan karena “keadaan istimewa” di
daerah-daerah koloninya. Diantara pengarang-pengarang di Indoensia ada yang
mempertahankan hukuman mati (a.l
Jonkers) dan ada yang menolaknya. Mereka yang keberatan dengan hukuman mati
mengatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan agama dan etika.[7]
Di Indonesia Undang-Undang Nomor 2 (Pnps) Tahun 1964, menentukan pidana
dijalankan dengan jalan tembak mati dijalankan dengan jalan tembak mati
walaupun pasal 11 KUHP masih menyebut dengan cara gantung. Eksekusi pidana mati
dilakukan dengan disaksikan oleh Kejaksaan Negeri setempat sebagai eksekutor
dan secara teknis dilakukan oleh polisi.[8]
Urutan
yang kedua adalah pidana penjara, yang merupakan bentuk pidana hilang
kemerdekaan, bukan saja kehilangan hak untuk berpergian namun juga kehilangan
hak-hak tertentu seperti hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk memangku
jabatan publik, hak untuk mendapatkan perizinan-perizinan tertentu, hak untuk
mengadakan asuransi hidup, hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan dan lain-lain.
Urutan
yang ketiga adalah pidana kurungan yang dinyatakan hanya untuk
kejahatan-kejahatan culpoos, dan sering alternatip dengan pidana penajara juga
pada pelanggaran-pelanggaran berat.[9]
Pidana kurungan ini tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
Urutan
yang keempat adalah pidana denda, yaitu hukuman atas kekayaan. Denda diancamkan
pada kebanyakan pelanggaran dan pada beberapa kejahatan, bilamana denda yang
diancamkan terhadap kejahatan, biasanya ini alternatif dengan pidana penjara,
perhatikanlah pasal-pasal 167, 281, 310, 351, 362, kadang-kadang juga dengan
pidana kurungan. Perhatikan pasal 231 ayat 4 atau ada pula dengan pidana
penjara dan kurungan, kedua-duanya. Perhatikan pasal 188 dan 403, denda saja
jarang diancamkan pada kejahatan tetai seperti demikian dalam pasal 403.
Perbuatan-perbuatan pidana yang merupakan pelanggaran dan diancam dengan pidana
kurungan, biasanya ditentukan pula denda sebagai alternatifnya, tetapi
pasal-pasal 504, 505, 506, 520 tidak mengadakan denda alternatifnya.[10]
Dan
untuk pidana tambahan seperti yang telah saya uraikan di atas, biasanya
bersifat fakultatif jadi tidak dijatuhkan juga tidak apa-apa, di dalam pasal
250 bis. 261 dan 275 dendanya bersifat imperatif. Denda ini tentu tidak dapat
berdiri sendiri apabila pidana pokok dapat berdiri sendiri namun pidana
tambahan harus dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok.
Bagimana dengan jenis pidana yang terdapat di dalam
RKUHP?
Tentunya yang akan menjadi pertanyaan adalah apakah
ada perubahan mengenai jenis pidana dalam KUHP dengan jenis pidana dalam RKUHP?
Apakah ada penamabahan jenis pidana dalam RKUHP? Apakah masih ada jenis pidana
yang sama dengan KUHP di dalam pengaturan RKUHP?
Maka
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan saya uraikan sebagai
berikut:
Di
dalam RKUHP mengenai jenis pidana menjadi berbeda dengan pasal 10 KUHP, sesuai
dengan perkembangan sistem pemidanaan, yang tersebut dalam pasal 65 RKUHP yakni
:[11]
1) Pidana pokok terdiri atas:
a.
pidana penjara;
b.
pidana tutupan;
c.
pidana pengawasan;
d.
pidana denda; dan
e.
pidana kerja sosial.
2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan
berat ringannya
pidana.
Sedangkan untuk pidana mati diatur di dalam pasal berikutnya,
pasal 66 yang mengatakan pidana mati bersifat khusus. Pidana tambahan juga
diatur di dalam pasal lain, yaitu pasal 67 sebagai berikut :
Pidana tambahan terdiri atas :
a.
pencabutan hak tertentu;
b.
perampasan barang
tertentu dan/atau tagihan;
c.
pengumuman putusan
hakim;
d.
pembayaran ganti
kerugian; dan
e.
pemenuhan kewajiban adat
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau
dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
Jadi
apabila kita bandingkan kedua pasal mengenai jenis pidana yang ada di dalam
KUHP dan RKUHP terdapat perbedaan di mana untuk pidana mati dalam RKUHP
dipisahkan pada pasal lain dan bersifat khusus, kemudian di dalam RKUHP ada
penambahan pidana tutupan, pengawasan dan pidana kerja sosial dan untuk pidana
penjara dan denda masih tetap sama kecuali pidana kurungan yang tidak lagi
dicantumkan dalam jenis pidana dalam RKUHP. Pidana
tambahan yang dicantumkan dalam RKUHP juga merumuskan pidana tambahan baru yang dinyatakan secara tegas, misalnya
tentang pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Jika dibandingkan dengan KUHP saat ini, dua
jenis pidana tambahan tersebut di atas belum
dinyatakan sebagai pidana tambahan karena dalam KUHP hanya mengenal 3
jenis pidana tambahan.
Sumber
lain juga mengatakan bahwa adanya perbedaan antara KUHP dengan RKUHP yakni:
ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP,
jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa
perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang
tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi
pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan
ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini. RKHUP menganut sistem pemidanaan
dua jalur (double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi
pidana (criminal punishment), dapat juga
dikenakan berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis
pemidanaan dalam RKUHP ini juga
bertambah dengan adanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang
merupakan bagian dari pidana pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum
pernah dikenal dalam KUHP Indonesia.[12]
Di
dalam KUHP, saya tidak menemukan adanya pidana tutupan namun ternyata dapat
kita lihat dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada
pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terkahir di
bawah pidana denda, pencatuman ini didasarkan pada UU No. 20 Tahun 1946 Tentang
Pidana Tutupan. Pidana tutupan ini disediakan bagi para politisi yang melakukan
kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Di dalam RKUHP pidana
tutupan di urutan kedua setelah pidana penjara hal ini saya tafsirkan karena
pidana tutupan itu adalah merupakan pidana hilang kemerdekaan jadi lebih berat
daripada pidana denda, maka di dalam RKUHP ditempatkan pada urutan kedua. Sedangkan di dalam KUHP urutan pidana
tutupan itu dihubungkan dengan pasal 69 ayat (1) KUHP “maka pidana denda harus dianggap
sebagai jenis pidana pokok yang lebih berat daripada pidana tutupan. Anggapan
seperti itu pastilah tidak benar.[13]
Kemudian
mengenai pidana pengawasan pada urutan ketiga yang merupakan jenis pidana baru
dalam RKUHP yang tentunya tidak dikenal dalam KUHP. Pidana pengawasan ini di
dalam RKUHP diatur lebih lanjut dalam pasal 78 dan 79. Pada dasarnya baik
pidana tutupan maupun pidana pengawasan adalah merupakan alternatif selain
pidana penjara.
Kemudian
untuk urutan yang terakhir adalah pidana kerja sosial yang pengaturan lebih
lanjutnya terdapat dalam pasal 86. Pidana kerja sosial ini adalah merupakan
jenis pidana baru di Indonesia, namun di beberapa negara lain sudah
dilaksanakan secara luas. Melalui penjatuhan jenis pidana ini terpidana dapat
dibebaskan dari rasa bersalah dan masyarakat dapat berperan secara aktif untuk
memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Misalnya
dengan menyapu-nyapu atau membersihkan jalanan.
B.
Hubungan Antara Jenis Pidana dalam KUHP dengan RKUHP dengan Teori
Tujuan Pemidanaan
Seperti yang
telah saya uraikan di atas bahwa terdapat beberapa perbedaan antara jenis
pidana dalam KUHP dengan jenis pidana yang dicantumkan dalam RKUHP, apabila
saya kaji melalui sistem pemidanaan maka akan terlihat bahwa di dalam RKUHP
bahwa pemidanaan atau penghukuman itu tidak selalu harus dengan cara yang
menimbulkan penderitaan secara fisik misalnya pidana kehilangan kemerdekaan
atau pidana penjara atau pidana mati yang merupakan kategori sanksi pidana,
namun ternyata RKUHP memberikan alternatif lain yaitu melalui tindakan-tindakan
seperti adanya kerja sosial di mana terpidana dengan syarat tertentu tidak
harus di penjara akan tetapi dia dapat melakukan hal lain yang bermanfaat bagi
masyarakat luas pada umumnya.
Hal tersebut
kemudian akan terkait dengan tujuan pemidanaan. Ada beberapa teori tujuan
pemidanaan:[14]
1. Teori Absolut/pembalasan (retributive/vergelding theorieen)
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)
3. Teori Gabungan
Ad. 1 Teori pembalasan ini timbul padal akhir abad XVIII yang
mempunyai beberapa penganut diantaranya:
-
Immanuel Kant:”kejahatan
itu ketidakadilan kepada orang lain, maka harus dibalas pula dengan
ketidakadilan yang berupa pidana kepada penjahatnya”
-
Herbert : “kejahatan itu
menimbulkan ketidakpuasan kepada masyarakat. Untuk melenyapkan ketidakpuasan
masyarakat tersebut, orang yang menimbulkan ketidakpuasan tadi (si penjahatnya)
harus dijatuhi pidana. Dengan demikian masyarakat akan merasa puas kembali”.
Jadi teori ini lebih menekankan kepada bagaimana agar pelaku
mendapatkan balasan atas perbuatannya untuk memenuhi adanya ketidakpuasan atau
perasaan balas dendam dari masyarakat.
Ad. 2 Teori Tujuan : teori ini mencari dasar hukum pidana
dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, tujuan pidana untuk
prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda, yaitu menakutkan,
memperbaiki dan atau membinasakan.
Ad. 3 Teori Gabungan : teori gabungan ini adalah merupakan
gabungan dari teori pembalasan dan teori tujuan, di mana dasar pembenaran dari
teori gabungan ini adalah meliputi dasar pembenaran pidana dari teori
pembalasan atau teori tujuan yaitu baik terletak pada kejahatannya maupun pada
tujuan pidananya. Pengaut teori ini diantaranya adalah Karl Binding.
Di dalam KUHP
tidak ditemukan adanya rumusan tujuan pemidanaan namun KUHP dilihat dari jenis pidananya
dan pelaksanaannya di Lembaga Pemsyarakatan KUHP menganut teori Pembalasan, tujuan
dan gabungan. Namun, apabila kita bandingkan dengan RKUHP terdapat rumusan
mengenai tujuan pemidanaan yakni:
Tujuan pemidanaan dalam RKHUP dalam Pasal 54 yang menyatakan
bahwa pemidanaan bertujuan :
a) Mencegah dilakukannya
tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c) Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dalam Pasal 54 ayat (2)
juga dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan merendahkan martabat manusia.
Tujuan
yang dirumuskan dalam RKHUP di atas nampak berlandaskan atas tujuan pemidanaan yang berlandaskan pada teori
pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan
untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju
kesejahteraan masyarakat. Tujuan
pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan ini juga berdasarkan pandangan utilitarian sebagaimana diklasifikasikan oleh
Herbet L. Paker yang melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya,
dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan
dijatuhkannya pidana itu. Tujuan pemidanaan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan dalam RKUHP adalah berorientasi
ke depan (forward-looking).
Selain
itu apabila tujuan pemidanaan dikaitkan dengan jenis sanksi pidana yang ada di
dalam RKUHP dapat berarti bahwa tujuan pemidanaan itu tidak untuk pembalasan
atau efek jera melainkan untuk pemasyarakatan dan pembinaan di mana dapat berarti
memasyarakatkan kembali terpidana dengan menghilangkan rasa bersalah yang
terdapat pada terpidana misalnya dengan kerja sosial yang akan membuatnya
merasa diterima kembali dan bermanfaat bagi masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berkaitan dengan jenis tindak
pidana dalam KUHP pasal 10 dan RKUHP pasal 65, terdapat beberapa perbedaan di mana untuk pidana mati dalam RKUHP dipisahkan
pada pasal lain dan bersifat khusus, kemudian di dalam RKUHP ada penambahan
pidana tutupan, pengawasan dan pidana kerja sosial dan untuk pidana penjara dan
denda masih tetap sama kecuali pidana kurungan yang tidak lagi dicantumkan
dalam jenis pidana dalam RKUHP. Pidana
tambahan yang dicantumkan dalam RKUHP juga merumuskan pidana tambahan baru yang dinyatakan secara tegas, misalnya
tentang pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Jika dibandingkan dengan KUHP saat ini, dua
jenis pidana tambahan tersebut di atas belum
dinyatakan sebagai pidana tambahan karena dalam KUHP hanya mengenal 3
jenis pidana tambahan.
Di
dalam KUHP tidak terdapat perumusan mengenai tujuan pemidanaan. Namun dalam
RKUHP dapat kita lihat dalam pasal 54, dan terkait dengan pasal 65 bahwa tujuan
pemidanaan bukan ditujukan untuk pembalasan atau efek jera melainkan untuk pemasyarakatan
dan pembinaan di mana dapat berarti memasyarakatkan kembali terpidana dengan
menghilangkan rasa bersalah yang terdapat pada terpidana misalnya dengan kerja
sosial yang akan membuatnya merasa diterima kembali dan bermanfaat bagi
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Buku
Andi Zainal Abidin
Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-bentuk
Khusus Perwujudan Delik(Percobaan,
Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.
P.A.F Lamintang dan
Theo Lamintang, Hukum Penitensier
Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
edisi kedua, 2010.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta :
Aksara Baru, Cetakan keempat, 1983.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal, Bogor : Politeia, 1995.
Tolib Setiady , Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia,
Bandung : Alfabeta, Cetakan kesatu,
2010.
Sumber
Undang – Undang
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).
Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2010
Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2005
Sumber
lainnya
ELSAM, “Pembaharuan
KUHP : Meninjau Kembali Bentuk-bentuk Hukuman dalam KUHP”, http://www.elsam.or.id/pdf/RKUHP2.pdf
yang diakses tanggal 03 Oktober 2011 Jam 07.00 WIB.
Anggi Adi Saputra,
“Pengaturan Pidana Kerja Sosial”, http://www.elsam.or.id/pdf/RKUHP2.pdf
yang diakses tanggal 03 Oktober Jam 07.15 WIB.
Draft RKUHP Tahun 2010,http://www.djpp.depkumham.go.id/rancangan/kerja/ln.php?j=ruu&t=2010
yang diakses tanggal 01 Oktober 2011 Jam 20.00 WIB.
ELSAM. “Pidana,
Pemidanaan dan Tindakan dalam rancangan KUHP 2005” http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Perundang-undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%203.pdf
yang diakses tanggal 04 Oktober 2011 Jam 19. 30 WIB.
[1]ELSAM,
“Pembaharuan KUHP : Meninjau Kembali Bentuk-bentuk Hukuman dalam KUHP”, http://www.elsam.or.id/pdf/RKUHP2.pdf
yang diakses tanggal 03 Oktober 2011 Jam 07.00 WIB.
[2]Anggi
Adi Saputra, “Pengaturan Pidana Kerja Sosial”, http://www.elsam.or.id/pdf/RKUHP2.pdf
yang diakses tanggal 03 Oktober Jam 07.15 WIB.
[3]Roeslan
Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,
Jakarta : Aksara Baru, Cetakan keempat, 1983, hlm. 1.
[4]Tolib
Setiady , Pokok-Pokok Hukum Penitensier
Indonesia, Bandung : Alfabeta, Cetakan kesatu, 2010, hlm. 20.
[5]Ibid.,
[6]R.
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor :
Politeia, 1995, hlm. 36.
[7]Catatan
kuliah hukum penitensier tanggal 15 Spetember 2011 yang diberikan oleh H. Agus
Takariawan SH.,MH.
[8]Andi
Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-bentuk
Khusus Perwujudan Delik(Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum
Penitensier, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 283.
[9]Roeslan
Saleh, op. cit., hlm 10.
[10]Ibid.,
[11]Draft
RKUHP 2010, http://www.djpp.depkumham.go.id/rancangan/kerja/ln.php?j=ruu&t=2010
yang diakses tanggal 01 Oktober 2011 Jam 20.00 WIB.
[12]ELSAM.
“Pidana, Pemidanaan dan Tindakan dalam rancangan KUHP 2005” http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Perundang-undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%203.pdf
yang diakses tanggal 04 Oktober 2011 Jam 19. 30 WIB.
[13]P.A.F
Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum
Penitensier Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, edisi kedua, 2010, hlm.
131.
[14]Tolib
Setiady.,Op. Cit, hlm 52